Tuesday, March 01, 2016

“Dari Lenso ke Tisu”


Sore itu, tampak hujan lebat sedang mengguyur kotaku. Hujannya sangat lebat, hingga ketika kami berjalan menggunakan mobil, kabut hampir menutupi jalan yang kami lalui. Cuaca tersebut didukung dengan hari yang telah petang, bercerita dalam mobil hampir tak bisa kami lakukan, karena desiran hujan lebih mengelegar menutupi perbincangan kami
Aku tak sendiri, petang itu aku bersama ayah dan adik ku sedang melakukan perjalanan yang buat kami sangat mengharukan. Namun aku tak ingin berbagi tentang kisah itu, tidak untuk saat ini. Aku memilih bercerita kepada kalian melalui kisah yang ditorehkan oleh ayah ku. Kebisingan dari suara hujan mulai menghilang kala aku meminta tisu dari ayah. Ayah tolong ambilkan aku tisu dua lembar- pintaku kepada ayah, karena ayah yang duduk di tempat di mana tisu berada. Ia bertanya padaku untuk apa tisu ini kamu gunakan, mengapa rakus sekali kamu menggunakannya?-imbuh nya padaku. Aku pun menjawab “ini bukan untuk kumakan ayah, tisu ini kugunakan untuk membuang hingus yang keluar dari hidungku”. Ayah dan adik ku pun tertawa mendengar jawabanku, yang menanggapi kelakar dari ayahku. Ketika adikku terdiam ayah justru melanjutkan tertawanya hingga membuat kami kepo. Apa yang membuat ayah tertawa? –tanya adikku dengan nada penasaran. Aku pun menyambutnya, apa yang membuat ayah dapat tertawa selucu itu?, sambungku meneruskan pertanyaan dari adikku. Ayah kemudian menjawab pertanyaan dari kami melalui ceritanya:
Dulu saat ayah bertugas di Abepura (salah satu tempat di Papua - Jayapura) ada kejadian lucu yang tak bisa ia lupakan hingga saat ini. Kejadian itu tepatnya sekitar tahun 1970-an, dikala ia sedang menderita flu berat- ia menuju halaman asrama tempatnya bekerja sebagai bapak asrama di tempat itu, ia berjalan dan memandangi aktifitas dari anak-anak sekolah yang duduk dibangku SMP (Sekolah Menengah Pertama), mereka sedang bermain di lapangan. Tak lama kemudian, ia bersin-bersin dan tak kunjung henti, ia pun memasukkan tangan kanannya ke saku celananya dan kemudian mengeluarkan selembar kain kecil yang disebutnya lenso (sapu tangan), setelah itu mengeluarkan hingus ataupun lendir dari hidungnya. Dan apa yang terjadi saat itu, anak-anak yang tengah bermain sontak berhenti dan tertawa sambil menunjuk ke arah ayah dan melontarkan kata-kata: “lihat, dia menyimpan hingusnya di kain itu”. Ayah saya pun kaget dan bingung, apa yang salah? –imbuhnya dalam hati. Karena rasa penasaran yang besar dan merasa sedikit terganggu, ia pun bertanya kepada salah satu dari anak-anak tersebut, hei apa yang kalian tertawakan –kata ayah kepada mereka. Kami menertawakan bapak, karena bapak menyimpan ingus di kain. Kenapa bapak tidak membuangnya saja? –kata anak itu kepada ayah. Ayah pun tertawa dan menyadari bahwa ternyata saat itu belum ada kebiasaan dan tradisi yang ia lakukan. Dan bahwa anak-anak itu menertawakan kejadian tersebut karena hal itu adalah hal baru bagi mereka dan sangat aneh untuk mereka. Saya dan adikpun kemudian ikut tertawa atas cerita tersebut
Jika, ditahun 1970-an sapu tangan dikatakan sebagai penyimpan hingus, lalu apa kisah lain yang ternyata tak lazim bagi mereka di tahun itu? –tanyaku dalam benak.
Salam,
Chichi Betaubun

Nilai Seseorang!

Apa itu nilai seseorang? Sulit mengatakan bahwa seesorang itu penting, namun juga sulit mengatakan bahwa mereka juga tidak penting. Seberap...