Sore itu, tampak
hujan lebat sedang mengguyur kotaku. Hujannya sangat lebat, hingga ketika kami
berjalan menggunakan mobil, kabut hampir menutupi jalan yang kami lalui. Cuaca
tersebut didukung dengan hari yang telah petang, bercerita dalam mobil hampir tak
bisa kami lakukan, karena desiran hujan lebih mengelegar menutupi perbincangan
kami
Aku
tak sendiri, petang itu aku bersama ayah dan adik ku sedang melakukan
perjalanan yang buat kami sangat mengharukan. Namun aku tak ingin berbagi
tentang kisah itu, tidak untuk saat ini. Aku memilih bercerita kepada kalian
melalui kisah yang ditorehkan oleh ayah ku. Kebisingan dari suara hujan mulai
menghilang kala aku meminta tisu dari ayah. Ayah tolong ambilkan aku tisu dua
lembar- pintaku kepada ayah, karena ayah yang duduk di tempat di mana tisu
berada. Ia bertanya padaku untuk apa tisu ini kamu gunakan, mengapa rakus
sekali kamu menggunakannya?-imbuh nya padaku. Aku pun menjawab “ini bukan untuk
kumakan ayah, tisu ini kugunakan untuk membuang hingus yang keluar dari
hidungku”. Ayah dan adik ku pun tertawa mendengar jawabanku, yang
menanggapi kelakar dari ayahku. Ketika adikku terdiam ayah justru melanjutkan
tertawanya hingga membuat kami kepo. Apa yang membuat ayah tertawa? –tanya
adikku dengan nada penasaran. Aku pun menyambutnya, apa yang membuat ayah dapat
tertawa selucu itu?, sambungku meneruskan pertanyaan dari adikku. Ayah kemudian
menjawab pertanyaan dari kami melalui ceritanya:
Dulu
saat ayah bertugas di Abepura (salah satu tempat di Papua - Jayapura) ada kejadian
lucu yang tak bisa ia lupakan hingga saat ini. Kejadian itu tepatnya sekitar
tahun 1970-an, dikala ia sedang menderita flu berat- ia menuju halaman asrama
tempatnya bekerja sebagai bapak asrama di tempat itu, ia berjalan dan
memandangi aktifitas dari anak-anak sekolah yang duduk dibangku SMP (Sekolah
Menengah Pertama), mereka sedang bermain di lapangan. Tak lama kemudian, ia
bersin-bersin dan tak kunjung henti, ia pun memasukkan tangan kanannya ke saku
celananya dan kemudian mengeluarkan selembar kain kecil yang disebutnya lenso
(sapu tangan), setelah itu mengeluarkan hingus ataupun lendir dari hidungnya.
Dan apa yang terjadi saat itu, anak-anak yang tengah bermain sontak berhenti
dan tertawa sambil menunjuk ke arah ayah dan melontarkan kata-kata: “lihat, dia menyimpan
hingusnya di kain itu”. Ayah saya pun kaget dan bingung, apa yang salah?
–imbuhnya dalam hati. Karena rasa penasaran yang besar dan merasa sedikit
terganggu, ia pun bertanya kepada salah satu dari anak-anak tersebut, hei apa
yang kalian tertawakan –kata ayah kepada mereka. Kami menertawakan bapak,
karena bapak menyimpan ingus di kain. Kenapa bapak tidak membuangnya saja?
–kata anak itu kepada ayah. Ayah pun tertawa dan menyadari bahwa ternyata saat
itu belum ada kebiasaan dan tradisi yang ia lakukan. Dan bahwa anak-anak itu
menertawakan kejadian tersebut karena hal itu adalah hal baru bagi mereka dan
sangat aneh untuk mereka. Saya dan adikpun kemudian ikut tertawa atas cerita
tersebut
Jika,
ditahun 1970-an sapu tangan dikatakan sebagai penyimpan hingus, lalu apa kisah
lain yang ternyata tak lazim bagi mereka di tahun itu? –tanyaku dalam benak.
Salam,
Chichi Betaubun