Ada sosok yang tak biasanya aku lihat di pagi itu. Baju lesuh dengan gerobak ditangan membawa
makanan jualan, 'nasi, nasi, nasi kuning' sahutnya dari seberang jalan.
Mba Jumiati, wanita yang baru saja mencoba mengais rejeki dipagi itu. Biasanya aku tak pernah melihat atau mendengarnya bersahut-sahutan. Maka, kuhampiri dia dan bercerita sambil melihat-lihat barang jualan miliknya. Berapa harganya mba? -tanyaku padanya. Dua belas ribu dek -sahut mba Jumiati. Akupun kemudian kembali bertanya, mba baru pertama ya jualan di sini? Ya ampun dek, mba sudah sering, justru mba mau nanya, si adek baru toh tinggal di sini? Tidak mba (sahut ku), aku justru sudah hampir dua tahun tinggal disini. Walah si ade, mba sering jualan disini, tapi justru mba malah gak pernah liat adek. Pembicaraan kami berlanjut hingga seolah tak ada jarak diantara kami.
Mba Jumiati bercerita, bahwa kehadirannya dikota ini adalah sebagai bentuk pelarian diri 'Merantau Dari Rasa Sakit'. Kisah hidupnya sungguh tragis, ia ditinggal oleh suaminya karena selingkuh, namun beberapa kali suaminya selalu mencoba kembali padanya hanya untuk mengambil harta benda dan melukai mba Jumi. Hal ini membuat mba Jumiati terluka dan trauma, hingga ia mengumpulkan kekuatan untuk mengikuti tetangganya yang hendak ke Timika. Awalnya ia tidak tahu di mana itu Timika, ia hanya mengenal ke Irian atau Papua. Ternyata Papua adalah tempat yang sangat besar. Dalam penuturannya, teman-temannya mengikuti gerombolan PSK (Pekerja Seks Komersial) yang akhirnya bermuara di KM-10 (tempat lokalisasi wanita PSK di Timika). Namun mereka awalnya tidak tahu jika harus menjadi wanita panggilan, mereka hanya ditawari bekerja di rumah makan seperti kafe. Tetangga yang membawa mereka adalah orang yang sangat dipercaya karena posisi kerjanya sebagai salah satu kesatuan keamanan di Timika. Untungnya mba Jumiati hanya mengikuti tim mereka dan tidak tergabung menjadi kelompok itu. Namun setiba disini langsung memisahkan diri. Dan hingga saat ini semuanya masih berjalan lancar-lancar saja. Yah karena Gusti Allah meridohi dirinya. Dia pun tak pernah putus shallat dan bertawakal. Semua ritual keagamaan selalu ia laksanakan. Hidup jauh dari keluarga awalnya sangat menyakitkan, karena seperti berjuang sendiri. Tapi lama-kelamaan ternyata betah juga. Sudah lima tahun lamanya berjuang disini, akhirnya dapat menikmati semua dengan baik-baik. Tanpa ketakutan dan rasa trauma yang sebelumnya ia alami. Ia justru menyesalkan yang dialami oleh teman-temannya di KM-10. Karena terperangkap dengan situasi yang ada. Mereka justru tidak bisa kabur. Yang jelas sangat mustahil untuk keluar dari tempat itu. Selain ada orang yang bisa membayar dan menjamin mereka.
Saya kemudian bertanya lagi, apakah si mba tidak berencana berumah tangga kembali? Dia katakan, bahwa keinginan itu pasti ada, tapi tidak mau ia paksakan. Untuk saat ini ia mau menjalani semuanya dengan tenang saja, tanpa harus terikat, jika suatu hari nanti dipertemuka dengan seorang lelaki dia harap lelaki itu adalah yang terbaik dan tidak seperti masa lalunya. Semua ia serahkan pada Allah.
Pertanyaan saya terakhir adalah, apakah mba benci sama mantan suami? Jawabnya sungguh luar biasa. Namanya manusia mba, saya dulu benci sekali sama dia. Tapi semenjak saya menjalani hidup disini dan sering pasrah sama Gusti Allah, saya kok jadi kasihan mba sama dia. Karena hidupnya itu kan salah jalan yah. Itu tidak sesuai dengan kehendak Gusti Allah, bayangkan saja, kalau dia harus mati tiba-tiba, banyak sekali penyiksaan yang harus dia terima, yah perlakuannya ke saya, ke orang tuanya, ke siapapun orang yang ia sakiti. Makanya saya juga tidak mau dendam, saya yah sudah memaafkan. Sangat tulus memaafkan dia. Tapi bukan berarti saya harus kembali sama dia. Yah masing-masing tanggungjawab lah pada diri sendiri. Saya toh masih muda mba, kalau nanti Gusti Allah berkehendak berumahtangga lagi, saya ingin memperbaiki semua yang belum saya lakukan untuk keluarga nantinya. Amin -sahut kami berdua.
Menutup pembicaraan ini, saya sangat merasa bahagia sekali. Karena dipagi yang tidak begitu cerah, dengan remangan kabut yang bertaburan dilangit, saya memperoleh pelajaran berharga dari sosok berbeda. Dia wanita yang luar biasa yang saya temui. Sayang sekali, saya tidak sempat berfoto dengannya, semoga lain waktu saya bisa bertemu lagi dengannya dan mengabadikan kebersamaan kami.
Ada banyak hal yang dapat kita peroleh dari kisah ini, saya tidak akan mendikte anda yang membaca untuk menarik kesimpulan berdasarkan analisa saya. Tapi saya harap anda semua bisa mendapatkan makna positif dari kisah mba Jumiati, 'Merantau dari rasa sakit'.
Salam,