Setiap tahun saya selalu menjadi bagian dari kegiatan ini Pelatihan Penyuluh Sebaya HIV/AIDS (PPS) yang dilaksanakan oleh YAPEDA (Yayasan Peduli AIDS Timika). Yayasan lokal yang berdiri sejak tahun 2002. Saya sendiri sebenarnya merupakan bagian dari lembaga ini sejak tahun 2008. Tahun awal yang belum punya banyak pengalaman namun secara tidak langsung alam menggiringku berada hingga saat ini menjadi bagian dari proses kegiatan pendampingan tersebut.
Awalnya tak begitu menanggapi hal tersebut, namun entah mengapa semakin hari saya merasa semakin memiliki keterikatan berada dalam lingkungan ini. Dari awal belum paham gimana caranya ngontrol diri dan emosi hingga saat saya kemudian memahami bahwa tak semua cara harus digunakan dengan mengikuti kemauan diri. Setelah mengalami banyak hal dari proses ini dan mengamati apa yang terjadi. Saya kemudian menarik kesimpulan bahwa setiap orang secara sadar maupun tidak, selalu ingin menjadi sosok yang diprioritaskan dan dibanggakan. Namun, bukan hal yang mudah menjadi sosok itu. Dan peristiwa-peristiwa ini, justru membawa saya untuk selalu merefleksikan kepribadian saya kemudian.
Ini bukan tentang menjadikan diri saya hebat ataukah tidak, namun ini lebih kepada tanggungjawab moril, yang pahalanya dari yang di atas (Sang Khalik). Saya menyadari bahwa ketika saya menuntut sesuatu dari orang lain, saya pun harus berkomitmen dengan diri sendiri untuk bisa membuktikan bahwa saya pun sanggup melakukan hal yang sama. Karena pada dasarnya manusia itu selalu mencontohi lingkungan sekitar. Yang lebih saya jaga, bahwa anak-anak yang saya dampingi adalah anak-anak yang berada pada usia labil, yang dapat dengan mudah mengimitasikan diri mereka sesuai dengan sosok yang diidolakan ataupun yang selalu menjadi perhatian mereka. Ini dapat membawa dampak positif dan negatif. Positif sejauh tokoh-toko yang menjadi roll model mereka membawa perubahan positif kepada mereka, namun sebaliknya ini pun dapat memberikan dampak negatif, jika sosok idola mereka memberikan pengaruh yang buruk.
Hal-hal tersebut yang kemudian membuat saya menyadari bahwa uang bukanlah segala-galanya, walaupun melakukan segala-galanya membutuhkan uang. Setiap kejadian yang saya alami pada proses pendampingan ini, membawa saya melihat setiap manusia memiliki keunikannya tersendiri. Mereka dapat merusak diri sendiri secara sadar maupun tidak.
Ditempat ini pula, saya kemudian mengenali jiwa saya sendiri. Membentuk karakter menjadi pribadi
yang bertanggungjawab dari hal yang paling kecil. Saya masih ingat, awal bergabung saya harus berhadapan dengan pasien HIV+ tubuhnya sangat kurus (kulit berbungkus tulang), yang dipikirannya hanya tentang sex (mantan PSK) -dia mendapat serangan gangguan otak dimana hanya hal yang sering dilakukan yang dapat diingat saja. Saat itu saya awalnya menarik diri, namun karena pada dasarnya memiliki kegemaran dengan tantangan, saya pun beranikan diri dan bergabung dengan teman-teman di sana. Yang awalnya pikiran berkabut kegusaran dan ketakutan, karena takut tertular HIV hingga menjadi jiwa yang penasaran dan tertantang mendampingi pasien. Dari kisah ini, saya menjadi sadar bahwa begitu besar tanggungjawab yang harus saya embani dalam pekerjaan ini. Hal-hal seperti ini yang secara tidak langsung membentuk saya menjadi pribadi yang bertanggungjawab. Ada saat dimana saya juga harus meyakinkan pasien lain untuk menerima diri sendiri dalam kondisi seperti itu (terpuruk). Butuh waktu yang panjang dan berulang kali merefleksikan cara pendekatan dengan pasien, hingga akhirnya berhasil dan dapat dengan mudah melakukan proses pendampingan selanjutnya.
Proses pendampingan lain yang paling sering dan selalu terjadi adalah bagaimana membantu generasi muda untuk melihat potensi diri dan mengenali pribadi mereka. Saya akui ini merupakan tantangan terbesar dalam hidup, yang selalu menguras kehidupan pribadi saya. Saya pernah bahkan mengalami depresi karena kecewa dengan diri saya sendiri, yang secara pribadi saya anggap tidak berhasil dalam proses pendampingan. Ya, bayangkan saja merubah perilaku seseorang itu tidak mudah karena berkaitan dengan proses edukasi yang telah mereka alami sepanjang hidup ditambah dengan kebiasaan buruk yang diadopsi baik dari lingkungan keluarga maupun mesyarakat dan sekolah. Namun, saya akui dan percaya bahwa saya sendiri harus mengalami hal tersebut, karena ini merupakan alasan bagaimana saya justru bisa membantu seseorang yang dalam keadaan terpuruk keluar dari masalah yang dihadapi. Dan itu sungguh sangat berhasil, karena saya bisa merefleksikan apa yang saya alami menjadi cara untuk menolong orang lain. Terlepas dari hal tersebut, saya kemudian menjadi gemar membaca buku-buku yang berbaur motivasi dan pengalaman hidup. Saya menjadi pribadi yang lebih peduli dengan sesama, dan bahkan terkadang saya bisa menjadi orang yang sangat peduli secara emosional sekalipun saya tidak pernah bertemu.
Semua cerita tersebut merupakan pengalaman yang membentuk saya menjadi pribadi seperti ini.
Pribadi yang lebih dewasa dan bertanggungjawab. Yang tak bisa menghindari segala sesuatu dengan mudah, melainkan berpikir kritis mencari solusi dan jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Saya harap saya menjadi pribadi yang bijaksana bagi orang-orang disekitar saya. Oh ia, satu hal lagi, disini saya belajar bagaimana harus membantu seseorang. Bagaimana saya harus memperlakukan orang yang betul-betul membutuhkan bantuan atau hanya sekedar mencari kesenangan sesaat. Karena, yang saya tandai adalah kita butuh menjadi pribadi yang rendah hati bukan rendah diri. Kita perlu menjadi pribadi yang baik dan jujur bukan untuk dipermainkan maupun diperalat.
Jadi, intinya kita kita dapat belajar dimana saja dan kapan saja untuk menjadikan diri kita lebih berkualitas dan bermanfaat bagi orang lain. Asalkan kita memiliki hati dan niat untuk melakukannya.
Salam,
Semoga bermanfaat.